ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

PERMASALAHAN PANGAN ILEGAL DAN SUBSTANDAR DI INDONESIA


Nama: Nia Rahmawati
NPM : 25215035
Kelas : 2EB06
Dosen : Tri Damayanti


Fakultas Ekonomi
Akuntansi
Universitas Gunadarma 2016/2017 

Permasalahan Pangan Ilegal dan Substandar di Indonesia
PEMBAHASAN :
Produk pangan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia secara ilegal pada tahun 2016 mencapai Rp 96 miliar. Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Banun Harpini menyatakan perdagangan antar wilayah negara masih memiliki tantangan yang besar selain keamanan pangan juga faktor pengamanan wilayah perbatasan yang melibatkan aparat keamanan. Selama tahun 2016 pihaknya menemukan praktik pangan ilegal yang masuk ke Indonesia.
"Beberapa pangan ilegal antara lain bawang merah sebanyak 1.669.583 kilogram (kg) yang masuk sebanyak 102 kali. Kemudian beras sebanyak 723.700 kg sebanyak 9 kali, daging sebanyak 160.269 kg sebanyak 14 kali, daging bebek sebanyak 3.100 kg dan produk pangan lainnya dengan nilai ekonomi Rp 96 miliar," ujarnya di Kantor Badan Karantina Pertanian Jakarta, Jumat (16/12/2016).
Menurut Banun, yang perlu mendapat perhatian adalah pemasukan ilegal bawang merah karena dimasukkan dari beberapa pantai timur Sumatera seperti Tanjung Balai Asahan, Belawan, Medan, Tanjung Balai Karimun, Banda Aceh. "Bawang merah dan cabai jadi prioritas kami dalam operasi dengan aparat penegak hukum," ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut menandakan Indonesia masih menjadi pasar dan tempat berbagai produk pertanian ilegal. "Hal tersebut disebabkan karena terdapatnya sekitar 200-an pelabuhan-pelabuhan kecil yang belum terpantau secara optimal, baik oleh petugas karantina maupun oleh aparat keamanan," ungkapnya.
Kedepan dalam rangka memaksimalkan upaya pengendalian berbagai pangan illegal telah dilakukan secara mandiri oleh Badan Karantina maupun bersama aparat keamanan. "Seperti TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, Kepolisian RI dan Instansi Kepabeanan. Kegiatan pengawasan bersama dilakukan di berbagai tempat pemasukan yang rawan," tambahnya.
Dalam hal jumlah, kasus yang ditangani oleh unit pelaksana teknis (UPT) Badan Karantina Pertanian di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Denpasar pada tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan 2015 lalu. Pada 2016 ini, UPT-UPT tersebut menangani sebanyak 42 kasus, atau naik 46,2 persen dibandingkan tahun lalu yang sebanyak 22 kasus.
"Peningkatan jumlah kasus ini diharapkan menjadi bukti bahwa penegakan hukum di bidang karantina hewan dan tumbuhan semakin kuat dalam mengawal UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan," tandas Banun.

Badan POM gelar intensifikasi pengawasan pangan jelang Ramadhan dan Idul Fitri 2017 sejak dua minggu sebelum Bulan Ramadhan, tepatnya dimulai pada 15 Mei 2017 lalu dan akan terus berlanjut hingga satu minggu setelah lebaran. Target intensifikasi pengawasan difokuskan pada pangan olahan tanpa izin edar (TIE), kedaluwarsa, dan rusak di sarana distribusi pangan. Selain itu, petugas Badan POM beserta Balai Besar/Balai POM (BB/BPOM) di seluruh Indonesia pun meningkatkan pengawasan terhadap pangan jajanan berbuka puasa (takjil) yang kemungkinan mengandung bahan berbahaya. Intensifikasi pengawasan ini dilakukan secara terpadu dan sinergis bersama lintas sektor.

Di minggu pertama pelaksanaannya, petugas telah memeriksa 712 sarana distribusi pangan, dengan hasil masih terdapat 40% sarana yang dikategorikan tidak memenuhi ketentuan (TMK) karena menjual produk pangan kedaluwarsa, rusak, dan TIE. Total temuan pangan TMK dari sarana tersebut berjumlah 152.065  kemasan, terdiri atas 74% pangan TIE, 23% pangan kedaluwarsa, dan 3% pangan dalam keadaan rusak. Dari seluruh sarana TMK yang diperiksa, 43% dari total temuan pangan TMK berasal dari gudang distributor/importir TMK yang berjumlah 177 sarana.

Berdasarkan lokasi temuan, temuan pangan rusak banyak ditemukan di Jayapura, Padang, Bandung, Aceh, dan Manokwari dengan jenis produk mentega, ikan dalam kaleng, minuman berperisa, kecap, dan susu kental manis. Temuan pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Manokwari, Jayapura, Samarinda, Ambon dan Denpasar dengan jenis produk mi instan, bahan tambahan pangan, biskuit, minuman serbuk, dan makanan ringan. Sementara untuk pangan TIE banyak ditemukan di Lampung, Palembang, Mataram, Batam dan Kendari dengan jenis produk teh, garam, makanan ringan, biskuit, gula dan tepung.

Untuk lebih meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi bahaya produk pangan TMK jelang Ramadhan dan lebaran, Badan POM juga melakukan berbagai bentuk kegiatan sosialisasi serta komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). “Intensifikasi pengawasan pangan tahun 2017 akan sedikit berbeda dari tahun sebelumnya. Tahun ini Badan POM juga akan membuka posko-posko pengaduan dan menempatkan mobil laboratorium keliling di beberapa titik mudik, sehingga masyarakat dapat langsung melapor jika menemukan pangan yang tidak memenuhi ketentuan”, papar Kepala Badan POM, Penny K. Lukito saat jumpa pers di Kantor Badan POM, Rabu (24/05). Pendekatan preventif lain juga dilakukan Badan POM, antara lain mengajak pelaku usaha dan para peritel untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam menjaga keamanan dan mutu pangan sepanjang rantai distribusi. 
Kepala BPOM Roy Sparingga peredaran pangan dan obat ilegal masih terus menerus didapatkan oleh BPOM.  Roy mengatakan, "Permasalahan ini seperti fenomena gunung es, dan bahwa setiap temuan jangan dianggap sepele justru itu kita selalu berusaha untuk memberantasnya."
Roy mengaku bahwa permasalahan ini mungkin akan selalu terus ditemukan sebab sejumlah produk tersebut masih diminati masyarakat dengan beragam alasan. "Khususnya pangan kadaluarsa, ini bersumber dari penjualan cuci gudang, supliernya ada, minatnya ada dan juga harganya murah,"
Masih terkait dengan keamanan pangan, di awal tahun 2017 Badan POM kembali menjadi National Coordinator dalam pelaksanaan Operasi Opson VI di Indonesia pada Januari hingga Maret 2017. Operasi Opson VI ini diikuti oleh 61 negara di seluruh dunia.

Operasi Opson adalah operasi internasional yang dikomandoi ICPO-Interpol dengan fokus pada pelanggaran tindak pidana di bidang pangan. Operasi Opson VI di Indonesia merupakan operasi gabungan Badan POM dengan POLRI, NCB Interpol, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Di tahun kedua keikutsertaannya dalam Operasi Opson, Badan POM dengan melibatkan BB/BPOM di seluruh Indonesia telah melakukan penindakan terhadap 146 sarana yang diduga melakukan produksi dan peredaran pangan ilegal. Total pangan ilegal yang ditemukan berjumlah 1.772 jenis atau 13.247.484 pieces dengan nilai keekonomian lebih dari 18,8 miliar rupiah. Temuan terdiri atas pangan lokal dan impor TIE; pangan dengan tambahan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan (mi dan tahu); produk pangan kedaluwarsa; serta produk kecap yang diproduksi di sarana dengan sanitasi dan higiene yang buruk.
Nilai temuan pangan ilegal tertinggi berasal dari Pekanbaru dengan nilai temuan lebih dari 5,2 miliar rupiah, diikuti dengan temuan di Surabaya, Serang, Padang, dan Medan. Terhadap sebagian hasil temuan Operasi Opson VI ini, Badan POM akan melakukan tindak lanjut secara pro-justitia.
Badan POM mengimbau pelaku usaha untuk terus menaati peraturan yang berlaku. Masyarakat juga diharapkan agar lebih proaktif dalam memilih pangan yang dibeli dan ingat selalu "Cek KLIK". Cek Kemasan dalam kondisi baik, baca informasi produk pada Labelnya, pastikan memiliki Izin edar Badan POM, dan tidak melebihi masa Kedaluwarsa.
Pemerintah berkewajiban untuk memastikan pangan yang beredar di masyarakat memiliki kualitas yang baik. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat sebagai konsumen dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Undang – undang sendiri telah mengatur setiap asas, tujuan, hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dalam Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu:
1.      Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.      Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan.
5.      Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen dalam Pasal 3 UUPK 8/1999 bertujuan untuk:
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.      Meningkatkan kualitas barang dan/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu:
1.      Hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
2.      Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
3.      Hak untuk memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai tukar dan kondisi dan jaminan barang
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan
5.      Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6.      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
7.      Hak untuk memperoleh ganti kerugian
8.      Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
9.      Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu:
1.      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang demi keamanan dan keselamatan.
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang.
3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Data terbaru World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bahaya yang disebabkan oleh penyakit karena makanan menjadi ancaman global. WHO memperkirakan ada sekitar 2 juta korban, terutama anak-anak, meninggal dunia setiap tahunnya akibat makanan yang tidak aman. Di Indonesia, berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM selama periode tahun 2009-2013 diasumsikan bahwa dugaan kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang terjadi per tahunnya sebanyak 10.700 kasus dengan 411.500 orang sakit dan 2.500 orang meninggal dunia. Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kasus KLB keracunan pangan tersebut diperkirakan mencapai 2,9 triliun rupiah.
Data di atas merupakan sebagian dari permasalahan keamanan pangan yang saat ini menjadi perhatian semua pihak. Hal ini menjadi isu lintas sektor dan tanggung jawab bersama yang membutuhkan partisipasi sektor kesehatan non-publik (pertanian, perindustrian dan perdagangan, lingkungan, dan pariwisata). Permasalahan keamanan pangan menjadi salah satu fokus Badan POM di tahun 2014. Badan POM telah melakukan beberapa kajian terkait keamanan pangan, yang diharapkan mampu meningkatkan keamanan pangan di Indonesia.
Sebagai contoh, hasil kajian estimasi kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan di Indonesia diharapkan menjadi landasan ilmiah bagi manajer risiko untuk menentukan kebijakan yang perlu dilakukan dalam rangka memperbaiki sistem penyelidikan dan penanggulangan maupun meminimalkan KLB keracunan pangan yang pada akhirnya akan meningkatkan keamanan pangan di Indonesia.
Peredaran pangan ilegal dan substandar dapat berdampak negatif pada sosial-ekonomi bagi beberapa pihak contohnya masyarakat, produsen serta pemerintah. Berikut ini adalah beberapa dampak negatif pada sosial-ekonomi yang akan timbul akibat keamanan pangan yang terganggu :
·         Bagi Masyarakat (Individu) :
1.      Biaya medis
2.      Hilang pendapatan
3.      Sakit dan penderitaan
4.      Kehilangan waktu santai
5.      Biaya pengasuhan anak
6.      Biaya menghindari resiko
7.      Ongkos perilaku yang berubah
8.      Modifikasi rumah
9.      Biaya rehabilitasi
10.  Biaya bantuan hukum
·         Bagi Produsen :
1.      Penarikan produk
2.      Turunnya produktivitas
3.      Penutupan pabrik
4.      Kehilangan pasar
5.      Rusaknya citra merek
6.      Pengurusan asuransi
7.      Biaya hukum.
·         Bagi Pemerintah :
1.      Biaya surveilens
2.      Penyelidikan outbreak
3.      Kehilangan produktivitas nasional pada daerah
4.      Endemic
5.      Berkurangnya ekspor
6.      Biaya jaminan sosial dan perawatan,
7.      Berkurangnya pemasukan bea cukai
8.      Kehilangan sumberdaya manusia.

KESIMPULAN :
Masalah pangan ilegal dan substandar sudah lama terjadi di Indonesia dan masih terjadi sampai saat ini. Kurangnya kesadaran masyarakat serta kesulitannya pemerintah dalam pengawasan kualitas pangan menjadi salah satu penyebab masalah ini masih terjadi di Indonesia. Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu penyebab mengapa masalah ini masih sulit untuk dituntaskan. Harga jual produk pangan ilegal dan substandar terbilang jauh lebih murah dibandingan harga pangan yang berkualitas baik. Oleh sebab itu, masyarakat dengan kelas ekonomi menengah kebawah masih meminati pangan ilegal dan substandar.
Tingginya tingkat permintaan terhadap produk pangan yang murah, membuat produsen dan pelaku usaha masih menjalankan bisnis pangan ilegal dan substandar tersebut. Walaupun pemerintah sudah berusaha memperketat jalur masuk pangan ilegal di Indonesia, tapi hal itu masih belum cukup untuk benar-benar menghentikan masuknya pangan ilegal ke Indonesia. Hal ini disebabkan masih banyaknya pelabuhan-pelabuhan kecil yang diluar pengawasan pemerintah yang dijadikan jalur masuk pangan ilegal dan substandar.
Masalah keamanan pangan merupakan masalah yang harus dianggap serius oleh semua pihak karena menyebabkan berbagai dampak negatif seperti kesehatan dan ekonomi. Dampak negatif dari peredaran pangan ilegal dan substandar tidak hanya akan dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga akan dirasakan oleh produsen/pelaku usaha serta masyarakat. BPOM mencatat kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kasus KLB keracunan pangan tersebut diperkirakan mencapai 2,9 triliun rupiah.

SOLUSI :
Mengingat persoalan keamanan pangan di Indonesia memiliki implikasi yang sangat luas maka perlu segera mendapatkan perhatian yang lebih serius. Terciptanya system keamanan yang ideal memerlukan keterlibatan berbagai institusi untuk menjamin keamanan pangan, mulai dari hulu hingga ke hilir (from farm to fork), mulai dari proses pemanenan, distribusi, pengolahan, hingga di meja konsumen. Terciptanya kondisi keamanan pangan yang ideal adalah tanggung jawab bersama Badan POM tidak dapat melakukan pengawasan keamanan pangan ini secara single player. Permasalahan keamanan pangan, bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, melainkan juga para pelaku usaha dan peran serta dari masyarakat. Mari bersama, kita pastikan bahwa produk makanan yang beredar di masyarakat terjamin keamanan, mutu, dan gizinya.

Untuk mengatasi peredaran makanan/pangan ilegal yang menyebabkan kerugian kesehatan dan ekonomi di Indonesia, Badan POM sampai saat ini sudah melakukan pengawasan yang lebih ketat khususnya di pintu masuk atau perbatasan daerah. Pengawasan yang dilakukan lebih difokuskan pada temuan besar ke hulu, serta dilaksanakan secara terpadu dan sinergis dengan lintas sektor sepanjang rantai pasokan.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Drs. Suratmono, MP, mengungkapkan bahwa masuknya makanan atau kosmetika yang berada di dalam parsel biasanya ditampung di sejumlah kota yang memiliki pelabuhan tikus seperti di Medan, Pekanbaru, dan Semarang.
Suratmono pun memaparkan bahwa makanan, jenis obat, atau kosmetika ilegal yang masuk ke Indonesia biasanya didominasi oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia, Tiongkok, dan Singapura. Ada pun beberapa jenis makanan yang berasal dari Eropa, lanjut Suramono, biasanya produknya itu berjenis pasta hingga kopi.
Akan tetapi, sampai saat ini kita masih belum memiliki program keamanan pangan nasional yang tertata dengan baik. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan seperti: sistem investigasi yang efektif terhadap kasus PBM, tingkat cemaran potensi bahaya biologis dan kimiawi pada berbagai bahan pangan, rencana aksi untuk mengatasi masalah detention dan holding terhadap produk makanan yang diekspor, penerapan sistem HACCP di dalam negeri dan sistem pengawasannya, dan lain-lain.
Tenaga ahli kesehatan di jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan agen penting dalam mempersiapkan SDM di wilayahnya, diantaranya melalui perencanaan dan realisasi program keamanan pangan di masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengetahuan, kepekaan dan kepedulian terhadap masalah keamanan pangan dan peranannya dalam mencegah dan menanggulangi PBM. Sehingga tenaga ahli kesehatan Pemda dapat berperan secara optimal dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PBM.
Memberantas segala hal yang berbau ilegal di Indonesia tentunya memerlukan usaha dan tenaga yang keras, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang tak pernah menyerah melakukan berbagai upaya dalam menangani praktik terkait pemalsuan, pembajakan, penyelundupan pangan berbahaya di Indonesia.
Akibat pemegang kepentingan tak bertanggung jawab implikasi praktik ilegal tersebut berujung pada kerugian ekonomi secara global, juga terpenting berisiko terhadap kesehatan masyarakat Indonesia juga dunia.
Hal ini menjadi tanggung jawab besar BPOM dalam menanggulangi pangan dan obat yang berbahaya. Namun jika tak didukung dengan masyarakat maka usaha yang dilakukan oleh pihak berwenang akan menjadi sia-sia.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh semua pihak untuk dapat menjaga keamanan pangan dari pangan ilegal dan substandar adalah sebagai berikut :
1.      Menyadari arti dan pentingnya mutu dan keamanan pangan, serta dampak ekonomi dari diabaikannya masalah keamanan pangan, perlu diambil langkah-langkah strategis untuk penanganan mutu dan keamanan pangan di Indonesia.
2.      Program ketahanan pangan harus selalu menyertakan semua aspek yang terkandung
didalamnya. Masih banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami kekurangan pangan hendaknya tidak menjadi alasan untuk menempatkan aspek mutu dan keamanan pangan sebagai prioritas yang kesekian setelah kecukupan pangan tercapai.
3.      Sesuai dengan amanat UUD 45 yang diamandemen, UU No 7 tahun 1996, UU No 8 tahun 1999, pemerintah dituntut tanggungjawabnya untuk membina, mengawasi produksi pangan yang bermutu dan aman serta memberikan pendidikan kepada konsumen mengenai pangan yang bermutu dan aman dan mendorong konsumen untuk dapat menghargai produk yang bermutu dan aman tersebut sehingga menjadikan insentif bagi produsen untuk terus meningkatkan mutu dan keamanan pangan produknya.
4.      Untuk melindungi rakyat Indonesia pemerintah perlu semakin memantapkan sistem keamanan pangan nasional yang terpadu mulai dari tingkat produksi sampai konsumsi.
5.      Penerapan sistem standar mutu dan keamanan pangan yang diakui secara nasional, regional dan internasional perlu dilakukan agar produk Indonesia mampu bersaing dengan produk luar dan membatasimembanjirnya produk luar yang tidak memehuhi standar keamanan pangan.
6.      Mengingat kepincangan dalam system pengawasan keamanan pangan yang ada di Indonesia, dimana untuk produk segar belum mendapat perhatian serius, perlu segera ditetapkan sistem keamanan untuk produk segar dan sistem pengawasannya berikut
infrastruktur untuk mendukung hal tersebut.


Referensi : http://gizi.depkes.go.id
                  www. pom.go.id